Oleh: Dr. H.M Amir Uskara
Anggota DPR RI/Ketua Fraksi PPP
SENAYAN POST - Dialog antara Soekarno dan Josep Broz Tito tahun 1960-an, tentang "kekuatan suatu bangsa" sangat menarik.
Presiden Yugoslavia saat itu, Josep Broz Tito merasa yakin negerinya tidak akan pecah. Karena "tentara kami sangat kuat dan kami bisa mengendalikan negara," katanya.
Josep Broz Tito, yang terpilih sebagai Presiden Yugoslavia tahun 1953, memang sosok pemimpin kharismatik.
Tito berteman dekat dengan Bung Karno. Karena keduanya pendiri non-blok, tidak pro-Amerika dan Uni Soviet.
Baca Juga: Mahfud MD Minta Denny Indrayana Jaga Anies Baswedan Jelang Pemilu 2024, Ini Alasannya
Saat itu memang dunia terbagi dalam dua poros. Kapitalisme Amerika dan Komunisme Soviet. Kedua blok tersebut perang dingin.
Nah, Indonesia dan Yugoslavia memilih netral. Tidak pro-Barat dan tidak pro-Timur. Alias Non-Blok.
"Bagaimana negara Indonesia? Bisakah mengatasi perpecahan," Tanya Tito kepada Bung Karno.
"Indonesia tidak akan pecah, karena kami mewariskan ideologi perekat bangsa yang kuat, Pancasila," ujar Soekarno. Pancasila mempersatukan bangsa, tambah presiden pertama Republik Indonesia itu.
Baca Juga: Anies Baswedan Tak Diundang Pemprov DKI Jakarta ke Formula E, Said Didu: Memang Selalu Dijegal
Tito kaget. Mungkinkah sebuah ideologi bisa merekatkan bangsa Indonesia yang terdiri atas ribuan suku dan bahasa?
Tito meragukan ucapan Bung Karno. Ia merasa, Yugoslavia yang kuat militernya lebih mampu menjaga persatuan bangsanya ketimbang Indonesia yang hanya mengandalkan ideologi Pancasila.
Republik Yugoslavia merupakan negara federal yang pernah eksis di Eropa sampai hampir akhir abad ke-20. Di bawah Tito, Yugoslavia tumbuh besar, bersatu, kuat, dan maju. Tapi setelah Tito meninggal tahun 1980, negara-negara bagian di Yugoslavia terlibat konflik politik. Federasi pun mulai retak.
Pada awal 1990-an, perpecahan benar-benar terjadi. Dan Yugoslavia runtuh pada tahun 1992. Republik yang semula besar dan kuat itu pecah menjadi enam negara bagian yang berdiri sendiri, Serbia, Montenegro, Slovenia, Kroasia, Bosnia-Hezergovina, dan Makedonia. Dua daerah lainnya berstatus otonomi khusus (Kosovo dan Vojvodina).
Artikel Terkait
Ekonomi Pancasila dari Perspektif Hankamnas (Sebuah Refleksi Atas Kasus-kasus Aktual)
Opini: Cara Pengambilan Keputusan dalam Demokrasi Pancasila
OPINI - LENGSER KEPRABON, Mengingat Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto
Opini: Potensi Ancaman Menjelang Pilpres 2024?
Opini: Pidana Bagi Dokter Malapetaka Bagi Kemanusiaan