KH Abdi Kurnia Djohan
Mantan Pengurus LDNU PBNU
Sebelum tahun 1998, Presiden Soeharto sering mengatakan bahwa dirinya tidak akan memegang jabatan Presiden seumur hidup. Di dalam berbagai forum, beliau sering mengatakan bahwa akan tiba suatu masa beliau akan lengser keprabon madeg ngamanditho (turun dari jabatan presiden dan fokus pada urusan agama). Ungkapan itu sering disampaikan sebelum wafatnya Ibu Negara Tien Soeharto pada tahun 1996.
Tapi kapan Presiden Soeharto lengser, banyak orang masih menerka-nerka. Pada tahun 1996, bersamaan dengan hari raya Kurban, Indonesia dikagetkan dengan kabar wafatnya Ibu Negara Tien Soeharto. Beliau diberitakan wafat karena serangan jantung. Namun anehnya, Istana dan Cendana tidak pernah merilis kabar bahwa Ibu Negara mengidap penyakit jantung akut yang mengharuskannya mengurangi banyak aktivitas.
Kematian Ibu Tien Soeharto menjadi pukulan tersendiri bagi Presiden Soeharto. Isu lengser keprabon kembali digaungkan. Dan sepertinya, Presiden Soeharto risih dengan gencarnya isu yang dihembuskan oleh lawan-lawan politiknya. Publik mengetahui bahwa Jend. LB. Moerdani dan kawan-kawan sudah lama berseberangan dengan Presiden Soeharto. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa isu lengser itu dilempar oleh kubu LB Moerdani.
Sikap risih Presiden Soeharto itu ditunjukkan melalui arahannya di setiap forum. Beliau mengatakan agar masyarakat tetap tenang. Beliau menegaskan tidak akan membawa jabatan sampai mati. Untuk menegaskan komitmennya itu, Presiden Soeharto selalu mengulang narasi tentang perjalanan hidup manusia.
Presiden Soeharto berbeda dengan Presiden Soekarno di dalam menyikapi tekanan. Jika kita perhatikan tayangan video tahun 1965-1966, terlihat di situ bagaimana Presiden Soekarno memperlihatkan kegusarannya terhadap kritik dan hujatan yang dilempar mahasiswa kepadanya. Presiden Soekarno selalu membangun pledoi dengan retorika heroik atas sikap politiknya terhadap peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) dan tingginya inflasi yang berdampak pada resesi ekonomi. Tak jarang, Presiden Soekarno juga menunjuk langsung siapa pendukungnya dan siapa penentangnya yang dianggap sebagai antek-antek nekolim. Soekarno yang berlatar belakang sipil, menggunakan gaya militer ketika menghadapi tekanan.
Ini berbanding terbalik dengan Presiden Soeharto. Walaupun berpangkat jenderal bintang lima, Presiden Soeharto justru menghadapi tekanan itu dengan menggunakan gaya raja jawa. Bisa dikatakan bahwa Presiden Soeharto adalah tipikal politisi ulung yang sulit dibaca arah manuvernya. Di tengah tekanan agar tidak lagi mencalonkan diri pada tahun1997, Presiden Soeharto malah mengajak masyarakat untuk bersiap menghadapi era persaingan global pada tahun 2020. Menurut Soeharto, persoalan ekonomi bangsa ke depan lebih penting daripada mempersoalkan kepemimpinan nasional yang sudah berlangsung 32 tahun. Presiden Soeharto bahkan melempar pertanyaan apa benar jika dia tidak lagi memimpin Indonesia akan lebih baik.