Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc
Prof. Ali Jum’ah merupakan salah satu ulama terkemuka di Mesir dan Negara Arab. Beberapa waktu yang lalu diundang oleh PM Malaysia Dato Sri Anwar Ibrahim untuk menghadiri sejumlah konfrensi dan majelis ta’lim di Putra Jaya, ibukota Malaysia. Pembicara lainnya adalah Habib Umar bin Hafidz, pendiri Darul Mustafa di Tarim Yaman.
Kedua ulama tersebut sering penulis jumpai di Mesir. Habib Umar bin Hafiz sering datang ke Mesir, dan bersama Habib Ali bin Abdurrahman Al Jufri mendirikan Raudlah An Na’im, di sebelah utara Masjid Imam Al Husain RA. Habib Ali bin Abdurrahman Al Jufri setiap sabtu pagi biasanya mengkaji kitab Qabas Nurul Mubin karya Habib Umar bin Hafiz yang merupakan ringkasan dari Ihya Ulumuddin, karya Imam Al Ghazali.
Keberhasilan terbesar Prof. Ali Jum’ah adalah menghidupkan kembali majelis-majelis ilmu di Masjid Al Azhar, Masjid Imam Al Husain RA, Masjid Imam Asy Syafi’i dan masjid-masjid lain. Isi majelis tersebut adalah mengkaji kitab-kitab turats dengan bahasa kekinian agar mudah dipahami.
Upaya ini juga dilakukan oleh para murid beliau. Syaikh Usama Sayid Al Azhari, menggerakkan Maktab Risalah Al Azhar. Syaikh Hisyam Al Kamil mensyarah sejumlah kitab-kitab turats.
Prof. Ali Jum’ah merupakan salah satu simbol ulama Madzhab Syafi’i di masa kini. Seorang senior menyebut bahwa Prof. Ali Jum’ah adalah madrasah, maksudnya adalah penggerak yang berhasil menciptakan kader-kader ulama besar.
Saat menjabat sebagai Grand Mufti, pada tahun 2003 hingga 2013, banyak perubahan di Dar Ifta. Salah satunya adalah pembentukan Biro Fatwa Elektronik yang menangkis radikalisme dalam memahami ajaran Agama Islam.
Biro Fatwa Elektronik ini kemudian berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada tahun 2014, Dar Ifta di bawah kepemimpinan Prof. Syauqi Allam Ibrahim, sebagai Grand Mufti sejak tahun 2013, mendirikan Pusat Observasi Fatwa Radikal dan Islamphobia yang juga menembus media sosial. Saat itu, radikalisme telah menggunakan media sosial untuk mengkampanyekan ideologi organisasi-organisasi radikal dari Ikhwanul Muslimin, Al Qaeda hingga ISIS.
Perkembangan ini mengharuskan Indonesia belajar dari Mesir. Pada akhir tahun 2014, BNPT yang dikepalai Komjen. Pol. Saud Usman Nasution berkunjung ke Mesir, ditemani kepala Program Nasional Deradikalisasi yaitu Prof. Nasaruddin Umar, mantan Wakil Menteri Agama RI.
Karena pihak yang ditemui cukup banyak dan jadwal yang padat, rombongan dibagi menjadia 2 (dua) bagian. Pertama dipimpin langsung oleh Komjen. Pol. Saud Usman Nasution dan kedua dipimpin Prof. Nasaruddin Umar. Kebetulan penulis mendampingi Prof. Nasaruddin Umar, salah satu tujuannya adalah Prof. Ali Jum’ah.
Kami ditemani Syaikh Amr Al Wardani, direktur Biro Pelatihan Dar Ifta Mesir, salah satu murid kinasih Prof. Ali Jum’ah. Banyak pembicaraan terkait radikalisme beragama dan khususnya perkembangan Timur Tengah. Pada akhir pertemuan, kami disajikan kotak berisi tasbih yang bahannya beragam, ada yang dari kayu koka, kayu abanus dan ada juga tulang unta.
Prof. Nasaruddin Umar mengambil tasbih dari kayu abanus, penulis mengambil tasbih dari tulang unta. Syaikh Amr Al Wardani berkata, “Jika sudah mendapatkan hadiah tasbih dari Syaikh Ali Jum’ah, berarti telah bertemu dengan Syaikh Ali Jum’ah.”
Setelah pertemuan dengan Prof. Ali Jum’ah kami kemudian ziarah ke makam Imam Asy Syafi’i. Prof. Nasaruddin Umar tampak khusyu’ sekali bercengkrama dengan Imam Asy Syafi’i.