Mengenal Lebih Dekat Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA

- Selasa, 28 Maret 2023 | 19:46 WIB
Biografi Mu'awiyah RA karya Sastrawan Abbas Aqqad
Biografi Mu'awiyah RA karya Sastrawan Abbas Aqqad

 

 

Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc

 

Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA merupakan salah satu saudara ipar Nabi Muhammad SAW dari istri beliau Ummu Habibah Siti Ramlah binti Abu Sufyan RA. Ayahnya, setelah masuk Islam oleh Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash Shiddiq RA ditugaskan sebagai gubernur Najran, yang melaluinya banyak penduduk Najran masuk Islam dan membela Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA dalam menghadapi kaum murtad dan nabi-nabi palsu.

Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA merupakan pemuda yang cerdas dan mampu baca-tulis dengan baik, sehingga Nabi Muhammad SAW menjadikannya sebagai salah satu penulis wahyu. Sebagai bagian dari Bani Umayyah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA memiliki kemampuan perang dan strategi perang yang sangat luar biasa sehingga banyak peperangan yang melibatkannya dapat dimenangkan oleh pasukan Umat Islam di antaranya Perang Yamamah (menumpas nabi palsu Musailamah Al Kadzab), Perang Yarmuk (melawan Romawi), perang-perang pembebasan kota-kota di Syam, termasuk pembebasan Pulau Cyprus.

Pulau Cyprus berhasil dikuasai Umat Islam pada masa khalifah Utsman bin Affan RA tanpa ada perlawanan sengit dari Romawi. Penduduk Pulau Cyprus turut membantu pasukan Umat Islam dan berjanji akan membantu memberikan informasi intelijen dan militer terkait pergerakan Pasukan Romawi. Setelah Cyprus berhasil dikuasai, Umat Islam di Syam merasa lebih aman, karena Pulau Cyprus biasanya digunakan Pasukan Romawi untuk meneror para pedagang Arab.

Saat terjadi aksi-aksi unjuk rasa di berbagai daerah yang berusaha menggulingkan Khalifah Utsman bin Affan RA, Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA mengusulkan agar para provokator tersebut ditumpas dengan jalur militer, akan tetapi oleh Utsman bin Affan RA ditolak dan ingin mengedepankan dialog. Perkiraan Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA benar, para pemberontak semakin liar dan berhasil membunuh Khalifah Utsman bin Affan RA.

Khalifah Ali bin Abi Thalib RA yang dipilih oleh sebagian besar Sahabat RA yang senior di Madinah, berusaha menggunakan dialog dalam menindak para pemberontak karena berasal dari berbagai wilayah seperti Irak, Syam, Bahrain, Yaman dan Persia, yang jika ditindak dengan cara kekerasan akan menimbulkan kebencian kepada Umat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Sikap ini ditentang oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA yang ingin menindak para pemberontak dengan tindakan militer. Perbedaan pendapat ini menimbulkan rasa saling curiga antara kedua pihak sehingga kemudian terjadi Perang Jamal dan Perang Shifin.

Kedua perang tersebut dapat diselesaikan dalam Perundingan Daumatul Jandal yang menghasilkan kekuasaan Umat Islam terbagi antara pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan wilayah Jazirah Arab dan Irak dengan ibukota di Madinah, sedangkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA menguasai wilayah Syam dan Mesir dengan ibukota Damaskus. Sayangnya, ada sebagian dari pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib RA keluar karena menganggap hasil perundingan tidak sah dan kemudian mereka disebut dengan Khawarij.

Pihak lain adalah warga Persia yang ternyata menganggap Khalifah Ali bin Abi Thalib RA sebagai tuhan, sehingga Khalifah Ali bin Abi Thalib RA memindahkan ibukota dari Madinah ke Kufah untuk memberi pemahaman ajaran akidah Islam yang benar, bahwa dia adalah manusia. Nalar mereka ini adalah nalar Persia Kuno yang menganggap raja adalah bagian dari keluarga suci pilihan tuhan. Khalifah Ali bin Abi Thalib RA yang merupakan sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW, oleh warga Irak Persia dianggap sebagai bagian dari keluarga suci campuran Arab-Islam dan Persia, karena salah satu putri Kisra yang bernama Jihan, menikah dengan, Al Husain bin Ali RA. Mereka kemudian dalam diskursus Ilmu Kalam dikenal dengan Syiah.

Khawarij kemudian melancarkan operasi teror membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA. Sayangnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA berhasil dibunuh dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA selamat. Syiah kemudian meminta Al Hasan bin Ali RA selaku anak tertua menggantikan ayahnya. Al Hasan bin Ali RA memahami bahwa perang dan konflik antar Umat Islam harus segera diakhiri. Al Hasan bin Ali RA mendiskusikan hal ini dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA, keduanya sekapat untuk menyelesaikan konflik dengan ketentuan, Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA memimpin Umat Islam, dihentikan konflik dan caci-maki antara kedua pihak, dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA menafkahi para penduduk Madinah. Kedua pihak setuju, dan pada tahun 41 Hijriyah dikenal sebagai Tahun Kebersamaan.

Gaya kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA seperti halnya Khalifah Utsman bin Affan RA, tertib dan disiplin. Bedanya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA melakukan tindakan keras kepada siapapun yang mempertanyakan legitimasi kekuasaannya, di antaranya Khawarij. Berbeda dengan sikap Khalifah Ali bin Abu Thalib RA yang mengedepankan dialog terlebih dahulu kepada Khawarij. Selain itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA melakukan kampanye-kampanye militer, termasuk berusaha menyerang Konstantinopel dipimpin oleh anaknya Yazid bin Mu’awiyah, akan tetapi gagal.

Menjelang wafatnya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA meminta kepada semua gubernur dan Umat Islam agar setuju kepemimpinan setelahnya, diserahkan kepada anaknya, Yazid bin Mu’awiyah, agar tidak terjadi perselisihan di tengah Umat Islam. Pewarisan kekuasaan adalah sistem paling maju pada masa itu, mengingat belum mengenal proses pemilihan umum dan pemungutan suara, seperti pada saat ini. Tentunya, terjadi gejolak bahkan di internal pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA sendiri, akan tetapi gejolak tersebut dapat diatasi.

Salah satu gejolak adalah peristiwa Karbala yang berawal dari sebagian penduduk Irak yang ingin berbaiat kepada Al Husain bin Ali RA sehingga bertolak ke Karbala akan tetapi, ternyata mereka yang mengklaim akan berbaiat kepada Al Husain bin Ali RA, tidak berangkat ke Karbala membantu Al Husain bin Ali RA dan keluarganya. Peristiwa tersebut menimbulkan gejolak besar di tengah Umat Islam sampai saat ini, dan sejak peristiwa itu, sebagain besar keluarga Khalifah Ali bin Abi Thalib RA berpindah tempat di antaranya Zainab binti Ali RA yang pindah ke Mesir bersama Ali bin Al Husain RA yang dikenal dengan Zainul Abidin.

Halaman:

Editor: Mushab Muuqoddas

Tags

Terkini

Kehilangan Tasbih Hadiah dari Prof. Ali Jum’ah

Minggu, 28 Mei 2023 | 00:23 WIB

Opini: Mencari Tuhan di Ka'bah

Selasa, 9 Mei 2023 | 17:24 WIB

HUT BIN, Dalil Intelijen dalam Al Qur’an

Senin, 8 Mei 2023 | 20:54 WIB

Opini: Doa Sapu Jagad di Raudhah

Senin, 8 Mei 2023 | 06:05 WIB
X