Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc
Pada tahun 275 Hijriyah, kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia dengan penguasa yang bernama Abdullah bin Muhammad digoyang oleh fitnah dari Bani Hujjaj, keturunan Hujjaj bin Yusuf yang merupakan politisi paling berpengaruh pada kekuasaan Bani Umayyah di Syam. Hampir setiap kota di Andalusia berhasil dikuasai oleh Bani Hujjaj. Abdullah bin Muhammad merupakan figur yang baik akan tetapi lemah dalam kepemimpinan. Keteladanannya berhasil merebut simpati dari Bangsa Barbar dan keturunan-keturunan Arab asal Yaman di Andalusia.
Kepemimpinannya kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abdurrahman bin Abdullah yang diberi gelar An Nashir karena berhasil meredakan pemberontakan Bani Hujjaj dan menguasai semua wilayah Andalusia. Pada masanya, Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh Al Muqtadir dalam kondisi lemah, sehingga Abdurrahman An Nashir mengklaim dirinya dengan gelar Khalifah. Pada saat itu, Umat Islam memiliki tiga khalifah yaitu Al Muqtadir di Irak, An Nashir di Andalusia dan Al Mahdi, Syiah di Qairuwan Tunis.
Hal ini menandakan bahwa pada saat itu, gelar Khalifah merupakan gelar pemimpin atau penguasa suatu negara. Seperti halnya Khawarij yang menamai pemimpin kelompok setiap faksi dengan nama Amirul Mu’minin. Gelar atau sebutan Khalifah dan Amirul Mu’minin hanya memiliki arti politik, tidak lagi memiliki arti sebagai pemimpin agama. Setiap penguasa dari Umat Islam menyebut diri mereka sebagai khalifah, jika mereka menginginkannya.
Kemegahan Andalusia juga mengakibatkan perpecahan di internal Bani Umayyah. Cicit Abdurrahman An Nashir, Muhammad Al Mahdi harus berhadapan dengan pamannya Hisyam bin Sulaiman dalam perebutan kekuasaan. Hisyam bin Sulaiman didukung oleh Bangsa Barbar, sehingga Muhammad Al Mahdi meminta dukungan kepada Kerajaan Prancis dan Syiah yang dipimpin oleh Ali bin Hamud, yang kemudian menguasai Andalusia. Kekuasaan Syiah di Andalusia walaupun tidak sampai satu dekade, telah memberikan pengaruh yang kuat dalam pemahaman, pemikiran dan ideologi politik Syiah di Andalusia.
Kekuasaan Bani Umayyah kembali direbut oleh salah satu cicit Abdurrahman An Nashir yaitu Abdurrahman bin Hisyam yang digelari Al Mustadzhir billah, dan mendapatkan dukungan dari penduduk Cordova, Bangsa Barbar dan keturunan-keturunan Yaman di Andalusia. Sayangnya, keterkaitan yang kuat Bani Umayyah atas Bangsa Barbar harus menerima pelajaran dengan dikudetanya sepupu Al Mustadzhir billah, Hisyam bin Muhammad yang bergelar Al Mu’tamad. Hisyam bin Muhammad Al Mu’tamad dikudeta oleh tentaranya sendiri yang berasal dari Bani Amir, salah satu keturunan Yaman di Andalusia.
Bani Amir membagi kekuasaannya kekuasaan setiap kota di Andalusia kepada para tetua keturunan Yaman di Andalusia, sehingga tidak ada pemerintahan yang sentralistik. Sampai kemudian muncul Yusuf bin Tasyfin dari Afrika Utara yang berhasil menyatukan Andalusia dengan dukungan Abbasiyah di Irak, dan menggelari dirinya Amirul Mu’minin.
Kekuasaan Umat Islam yang terpecah-pecah antara Al Murabithun, Al Muwahidun, Bani Hafs dan Bani Marin, berhasil dimanfaatkan oleh Kerajaan Prancis yang dianggap sebagai pengimbang masing-masing pihak. Prancis kemudian mendorong berdirinya Kerajaan Portugal dan Kerajaan Spanyol setelah penguasa-penguasa dari Umat Islam ditumbangkan dan diadu-domba. Beberapa ulama dan cendikia Umat Islam banyak yang mengungsi ke Mesir yang dikuasai oleh Mamalik di antaranya adalah Ibnu Khaldun.
Prof. Abdul Maqshud Basya menjelaskan bahwa kekuasaan Umat Islam di Andalusia tumbang pada tahun 1492 Masehi, atau sekitar 50 tahun setelah Turki Utsmani menaklukkan Konstantinopel dan mengubahnya menjadi Istanbul. Turki Utsmani ingin menguasai Andalusia karena merupakan negeri yang dihuni Umat Islam dan tidak ingin ada pemerintahan yang penguasanya memakai gelar Khalifah selain Turki Utsmani. Sementara itu, para penguasa di Andalusia mengklaim masih merupakan keturunan Bani Umayyah dan berhak atas wilayah yang dikuasai oleh Turki Utsmani, karena dahulunya merupakan kekuasaan Bani Umayyah.