Hari Wayang Sedunia:
Memutar Film Kanak-Kanak

Oleh: Djadjat Sudradjat*
MENIKMATI pergelaran wayang kulit, mengingatkan saya pada masa kanak-kanak di desa: Lumbir. Almarhum ibu saya, dulu, mungkin saya kelas 1 atau 2 SD, kerap menitipkan pada rombongan yang hendak menonton pakeliran di desa tetangga.
Hanya bermodalkan sarung, saya menonton pertunjukan wayang semalam suntuk. Kadang tertidur di sembarang tempat. Mungkin kotor. Kerap pulang dengan badan gatal-gatal. Tapi sungguh saya menikmatinya. Kerap bersorak gembira ketika Pandawa memenangi perang melawan Kurawa. Sebaliknya kerap murung ketika Pandawa terdesak...
Putaran film masa kanak-kanak itu muncul ketika menikmati pagelaran wayang kulit dalang Ki Sigit Adji Sabdopridjono di RRI Purwokerto selama tiga jam. Sigit, adalah anak dalang kondang Banyumas, Ki Sugito. Salah satu dalang favorit ketika saya kanak-kanak. Terlebih ketika memainkan tokoh Bima. Suara bariton dan ketegasannya hidup sekali. Musik dinamis dengan tabuhan beduk menghentak menjadi ciri khas kemunculan Bima..
Baca Juga
Ki Sigit, kakak tertua penyanyi Mayangsari. Sarjana pedalangan ini pernah mengajar wayang di Michigan University AS. Anak Ki Sigit juga dalang, Yakut Jedher. Dalang muda berwajah ganteng ini juga hadir pada pentas sang ayah.
Pagelaran ini memang diinisiasi para dalang muda terhimpun dalam Padmanaba, untuk memperingati Hari Wayang Sedunia yg jatuh hari ini (7/11). Saya senang diundang dalam pentas gambar hidup ini.
UNESCO telah menetapkan wayang kulit sebagai warisan dunia tak benda dari Indonesia: "Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity" pada 7 November 2003. UNESCO mengakui wayang dan pertunjukan wayang kulit sebagai seni mendongeng kuno dari Indonesia yang telah berkembang luar biasa selama berabad-abad. Bahkan, para wali juga memanfaatkan wayang sebagai syiar agama Islam. Wayang menjadi sumber bahasan dan kajian akademis yang tiada habisnya.
Cerita wayang yang di masa lalu berbasis kitab "Ramayana" dan "Mahabharata" karya pujangga Valmiki dari India abad 2 SM, mengalami akulturasi dan pengembangan yang luar biasa berkat kecerdasan para pujangga Indonesia. Wayang pun jauh berkembang di Indonesia dibandingkan di India sendiri. Wajar jika pemenang hadiah sastra dari India, Rabindranath Tagore, ketika berkunjung ke Indonesia takjub perkembangan wayang di Indonesia yg lebih maju itu.
Dulu --sebelum marak lakon carangan, terlebih dalang mbeling-- pentas wayang adalah menonton kisah perseteruan keluarga Pandawa dari Kerajaan Amarta. Panggung menghadirkan simbol kejujuran, kebaikan, kebenaran, keberanian, kesatriaan versus simbol angkara murka, kerakusan, karogansi, dan kelicikan. Wayang menjadi hiburan dan ajaran baik-buruk yang tak perlu tafsir.
Selamat Hari Wayang Dunia. Semoga seni panggung yang menjadi hiburan dan ajaran hidup masyarakat Indonesia (terutama di Jawa dan Sunda), bisa terus berlembang. Perlu inovasi dan formula yang tepat pemanggungan di era virtual ini.
Menurut Ki Sigit, dalam perbincangan seusai pentas, kalau wayang bertumbuh kebudayaan akan tangguh. Kalau kebudayaan tangguh negara dan bangsa pun akan utuh.***
*Djadjat Sudradjat, pemerhati budaya, Anggota DPRD Banyumas 2019-2024.
Komentar